Tugas-Tugasku..

Kamis, 20 Oktober 2022

Pendidikan Inklusi Pertemuan Ke-2

Rangkuman informasi dari Pelatihan Guru Pembimbing Khusus


Pengertian Pendidikan Inklusif

Menurut Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya’.

Hakikat Pendidikan Inklusif

Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif

Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait.

Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”. 

Landasan Empiris Pendidikan Inklusif

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Prinsip Pendidikan Inklusif

Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:

  1. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
  2. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
  3. Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 

  1. Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan
  2. Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered)
  3. Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas
  4. Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus
  5. Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat
  6. Pengakuan oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar
  7. Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:

  1. Prinsip motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar- mengajar.
  2. Prinsip latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
  3. Prinsip hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
  4. Prinsip individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

Indeks Inklusi

Dimensi Membangun Budaya Inklusif

Dimensi Membangun Budaya Inklusif terbagi dalam sub dimensi Membangun Komunitas dan sub dimensi Membangun Nilai-Nilai Inklusif dengan indikator sebagai berikut:

A.1 Membangun Komunitas

Indikator:
A.1.1 Setiap orang merasa diterima.
A.1.2 Peserta didik saling membantu.
A.1.3 Staf sekolah berkolaborasi satu sama lain.
A.1.4 Staf sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain dengan hormat.
A.1.5 Ada kemitraan antara staf sekolah dan orang tua/wali.
A.1.6 Staf sekolah dan pimpinan daerah bekerja sama dengan baik.
A.1.7 Semua masyarakat sekitar terlibat di sekolah.

A.2 Membangun Nilai-Nilai Inklusif

Indikator:
A.2.1 Harapan yang tinggi untuk semua peserta didik.
A.2.2 Staf sekolah, pimpinan daerah, peserta didik dan orang tua/wali memiliki pemahaman  filosofi inklusi yang serupa
A.2.3 Peserta didik sama-sama dihargai.
A.2.4 Staf  sekolah dan peserta didik memperlakukan satu sama lain sebagai manusia yang memiliki perannya masing-masing.
A.2.5 Staf sekolah berusaha menghilangkan hambatan belajar dan  hambatan partisipasi dalam semua aspek sekolah.
A.2.6 Sekolah berupaya meminimalkan praktik diskriminatif

Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif

aksesibility

Dimensi Menghasilkan Kebijakan Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengembangkan Sekolah untuk Semua dan Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman dengan indikator sebgai berikut:

B.1 Mengembangkan Sekolah untuk Semua

Indikator:
B.1.1 Pengangkatan dan promosi staf  sekolah dilaksanakan secara adil.
B.1.2 Semua staf sekolah baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.3 Sekolah berusaha untuk menerima semua peserta didik dari wilayahnya.
B.1.4 Sekolah membuat bangun yang dapat diakses secara fisik oleh semua orang.
B.1.5 Semua peserta didik baru didampingi sehingga dapat menetap di sekolah.
B.1.6 Sekolah mengatur kelompok pengajaran agar semua peserta didik dihargai.

B.2 Mengorganisir Dukungan untuk Keragaman

Indikator:
B.2.1 Semua bentuk dukungan dikoordinasikan.
B.2.2 Kegiatan pengembangan staf sekolah membantu staf sekolah untuk menanggapi keragaman peserta didik.
B.2.3 Kebijakan 'kebutuhan pendidikan khusus' adalah kebijakan yang inklusi.
B.2.4 Kode Praktik/Panduan Praktik Kebutuhan Pendidikan Khusus digunakan untuk mengurangi hambatan belajar dan hambatan partisipasi semua peserta didik.
B.2.5 Dukungan bagi mereka yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dikoordinasikan dengan dukungan pembelajaran.
B.2.6 Kebijakan dukungan pada aspek perkembangan dan perilaku dikaitkan dengan pengembangan kurikulum dan kebijakan dukungan pembelajaran
B.2.7 Penanganan disipilin yang berlebihan dikurangi.
B.2.8 Partisipasi kehadiran yang rendah dikurangi.
B.2.9 Perundungan diminimalisir

Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif

interior class

Dimensi Mengembangkan Praktik Inklusif terbagi dalam sub dimensi Mengatur Pembelajaran dan Memobilisasi Sumber Daya dengan indikator sebgai berikut:

C.1 Mengatur pembelajaran

C.1.1 Pengajaran direncanakan dengan mempertimbangkan pembelajaran unruk semua peserta didik.
C.1.2 Pelajaran mendorong partisipasi semua peserta didik.
C.1.3 Pelajaran mengembangkan pemahaman tentang perbedaan.
C.1.4 Peserta didik secara aktif terlibat dalam gaya pembelajaran mereka sendiri.
C.1.5 Peserta didik belajar secara kolaboratif.
C.1.6 Penilaian berkontribusi pada pencapaian semua peserta didik.
C.1.7 Disiplin di kelas didasarkan pada rasa saling menghormati.
C.1.8 Guru merencanakan, mengajar dan mereviu secara kolaboratif.
C.1.9 Guru bertanggungjawab untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik.
C.1.10 Asisten pengajar mendukung pembelajaran dan partisipasi semua peserta didik.
C.1.11 Pekerjaan rumah berkontribusi pada pembelajaran untuk semua.
C.1.12 Semua peserta didik mengikuti kegiatan di luar kelas.

C.2 Memobilisasi sumber daya

C.2.1 Perbedaan peserta didik digunakan sebagai sumber belajar mengajar.
C.2.2 Keahlian staf sekolah dimanfaatkan sepenuhnya.
C.2.3 Staf sekolah mengembangkan sumber daya untuk mendukung pembelajaran dan partisipasi.
C.2.4 Sumber daya  di masyarakat diketahui dan digunakan.
C.2.5 Sumber daya sekolah didistribusikan secara adil sehingga mendukung inklusi


Mekanisme Penerimaan PDBK di Sekolah Inklusif


Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas.

Prosedur Penetapan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Sebagai informasi, untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.

  1. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
  2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) / laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
  3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.
  4. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat  Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Identifikasi

Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan mengikuti pembelajaran.

Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya.

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak menunjukkan karakteristik unik (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.

Alat (instrumen) identifikasi anak berkebutuhan khusus (AIABK)disusun untuk mengetahui kondisi dan asal usul peserta didik. Alat ini terdiri atas 4 (empat) format. Masing masing format berisi tentang data dan informasi peserta didik yang diidentifikasi. Format 1 dan format 2 merupakan format yang berisi data pendukung AIABK, format 3 merupakan alat identidikasi yang digunakan, dan format 4 adalah rekap hasil identifikasi. 


Asesmen

Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak itu.

Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:
1) asesmen berazaskan kurikulum (asesmen akademik), dan
2) asesmen berazaskan perkembangan (asesmen nonakademik), dan
3) asesmen kekhususan. 

Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja.

Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stakeholder melakukan hal-hal sebagai berikut:

Peran guru

  • Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik
  • Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah
  • Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di rumah.

Peran Orang tua

  • Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)
  • Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog 
  • Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat 

Peran Kepala sekolah

  • Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat 
  • Melapor kepada Dinas pendidikan setempat 
  • Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi
  • Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Peran Dinas Pendidikan 

  • Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi  mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.
  • Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.
  • Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,
  • Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.

Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai akibat ketunaan. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.

Bentuk Layanan Segregasi


Layanan Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum terbagi ke dalam tiga bentuk yaitu segregasi, integrasi dan inklusi. Ketiga bentuk ini memiliki perbedaan diantaranya mengenai sistem kurikulum yang diterapkan

Pada materi ini, penjelasan lebih difokuskan pada bentuk layanan Segregasi yaitu bentuk layanan pendidikan bagi Anak Bekebutuhan Khusus yang mengacu pada jenis atau karakteristik spesifik dari ketunaan yang dialami seseorang. Oleh karenanya setiap ketunaan yang berbeda akan mendapatkan layanan berbeda. Bentuk layanan pendidikan segregasi memiliki sistem lingkungan dan kurikulum yang berbeda dari sekolah umum (tersendiri). Bentuk layanan pendidikan bagi ABK secara segregatif tentu masih sangat dibutuhkan bagi ABK.

Sistem layanan segregasi yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan umum. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB).

SLB merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah

Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu

Bentuk layanan pendidikan integrasi (mainstreaming) seringkali disebut dengan istilah sekolah terpadu. Bentuk layanan pendidikan ini merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman lainnya yang “normal”, yang didasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual. Pada pelaksanaanya memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusanan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas umum dengan syarat harus mampu mengikuti kegiatan di kelas tersebut dan kurikulum yang digunakan sama dengan anak lainnya.

Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah siswa keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan khusus.

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu:
  1. Kelas Biasa
  2. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
  3. Bentuk Kelas Khusus.

Bentuk layanan pendidikan inklusif


Bentuk layanan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai semua peserta didik termasuk anak berkebutuhan khususSemua peserta didik berada dalam lingkungan yang sama dan belajar dalam kelas yang sama sepanjang waktu. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum sekolah tersebut dengan dilakukan modifikasi dan adaptasi sesuai kebutuhan bagi semua peserta didik. 

Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar