Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar
wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks
pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara
parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi
pembentukan karakter anak didik.
Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan
pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak,
malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita
berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah
sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya
terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari
prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran,
banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak
untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang
mengontrolnya.
Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan
menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang
tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip
dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan
membentuk pribadi anak didik.
Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak
tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah
bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak
disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan
bersama. Tiap orang bisa
tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar